Pulau Bangka telah dikenal sejak lama sebagai wilayah yang kaya akan timah. Sejak abad pertama, nama-nama kuno seperti Wangka—yang dalam bahasa Sansekerta berarti timah—telah tercatat dalam berbagai naskah Hindu dan Buddha. Seiring berjalannya waktu, berbagai kerajaan besar seperti Sriwijaya mencatat aktivitas penambangan timah di wilayah ini. Namun, pada masa itu, penambangan masih dilakukan secara sederhana dan dalam skala kecil.
Perubahan besar dimulai saat Kesultanan Palembang memegang kendali pada abad ke-18. Penambangan timah mulai dilakukan secara besar-besaran, terutama di wilayah Muntok, yang kala itu dipilih sebagai tempat kediaman bangsawan. Di sinilah titik awal berkembangnya Muntok sebagai pusat pertambangan. Kesultanan mendatangkan pekerja dari Tiongkok yang dikenal disiplin dan membawa teknologi penggalian lebih maju. Sistem tambang kolong, pompa air kayu, dan alat pacul mulai digunakan, menggantikan teknik linggis tradisional.
Produksi timah meningkat drastis, menjadikan Sultan Palembang sebagai salah satu penguasa terkaya di Timur. Namun, monopoli perdagangan dengan VOC membatasi kemerdekaan ekonomi masyarakat. Ketika Inggris sempat mengambil alih Bangka dan mengganti nama Mentok menjadi Minto, situasi politik dan ekonomi kembali berubah. Lalu, pada 1816, Belanda resmi menguasai Bangka dan membentuk perusahaan tambang negara bernama Banka Tin Winning Bedrijf (BTW). Selama kolonialisme Belanda, sistem tambang semakin mekanis dan masif. Namun, kehidupan para kuli kontrak tetap keras. Pemberontakan meletus sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan upah rendah.
Masa penjajahan Jepang kemudian melanjutkan eksploitasi tambang, namun produksinya merosot akibat buruknya manajemen dan orientasi perang. Setelah kemerdekaan, Indonesia mengambil alih tambang pada 1953 dan membentuk PN Tambang Timah Bangka yang kemudian menjadi PT. Timah Tbk. Pada masa Orde Baru, timah dijadikan komoditas strategis dengan pengawasan ketat. Masyarakat tak boleh menambang tanpa izin.
Namun, pasca reformasi 1998, segalanya berubah. Pada masa pemerintahan Soeharto, timah dianggap komoditas strategis. Penambangan dikendalikan ketat oleh negara dan hanya PT. Timah yang memiliki wewenang penuh. Masyarakat dilarang menambang secara bebas. Muntok menjadi pusat peleburan dan distribusi timah di Indonesia, dijaga ketat oleh aparat negara.
Kini, hampir tak ada lahan baru yang potensial. Banyak tambang berhenti produksi, meninggalkan para penambang dalam kemiskinan. Fenomena baru pun muncul: penambangan laut atau TI apung. Namun kegiatan ini memicu konflik dengan nelayan karena mengganggu wilayah tangkap.
Sejarah panjang penambangan timah di Pulau Bangka bukan hanya soal kekayaan sumber daya alam, tetapi juga mencerminkan perjalanan peradaban, kolonialisme, perjuangan rakyat, hingga krisis lingkungan. Dari masa kerajaan, kedatangan migran Tionghoa dengan teknologi tambangnya, hingga era kolonial dan nasional, timah telah menjadi urat nadi yang membentuk identitas Bangka. Namun kejayaan itu juga menyisakan luka. Eksploitasi tanpa kendali, perubahan tata ruang, dan kerusakan lingkungan menjadi warisan pahit yang terus dirasakan hingga hari ini. Sungai tercemar, lahan rusak, dan krisis air bersih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Muntok dan sekitarnya.