Penolakan aktivitas pertambangan oleh masyarakat Desa Rebo, Matras, Pejem terhadap kegiatan KIP (Kapal Isap Produksi) yang merupakan partner PT Timah Tbk.

Kronologi: Pada Desember 2019, Ratusan nelayan Desa Rebo melakukan aksi unjuk rasa menolak operasi KIP di pesisir mereka karena menyebabkan hasil tangkapan menurun dan keruhnya laut. Aksi serupa terjadi di Matras, meskipun ada tanda tangan izin dari sebagian nelayan, banyak yang merasa tidak pernah memberi persetujuan dan menuding adanya oknum yang menandatangani atas nama mereka. Pendemo kemudian menyampaikan aspirasi ke DPRD Babel dan mengajukan permohonan ke pemerintah pusat agar IUP ditinjau ulang atau dicabut.

Kejelasan Kasus: Hingga pertengahan 2025, konflik antara masyarakat desa dan PT Timah (melalui mitra KIP) belum sepenuhnya diselesaikan secara hukum maupun administratif. Pemerintah Provinsi Babel dan pihak DPD RI sudah melakukan rapat dengar pendapat serta kunjungan lapangan untuk mencari solusi, namun masih ada kebutuhan kepentingan dan belum terjadi kesepakatan final.

Sumber: Pencet ini kalo mau tau lebih.

Konflik yang terjadi antara nelayan dan perusahaan tambang timah yang beroperasi di pesisir laut Babel.

Kronologi: Sejak tahun 2006, Kepulauan Bangka Belitung mulai mengalami peningkatan intensitas konflik antara masyarakat pesisir—khususnya nelayan—dengan perusahaan-perusahaan tambang timah, baik legal maupun ilegal, yang melakukan aktivitas penambangan di wilayah laut. Konflik ini bermula dari mulai maraknya penggunaan Kapals Isap Produksi (KIP) yang beroperasi di dekat wilayah tangkap nelayan tradisional. Kehadiran KIP menyebabkan kerusakan ekosistem laut, mengakibatkan penurunan drastis hasil tangkapan ikan, dan mengganggu stabilitas ekonomi masyarakat nelayan. Beberapa perusahaan yang terlibat dalam konflik ini antara lain adalah PT Timah Tbk, PT Pulo Mas Sentosa, dan PT Tinindo Internusa, yang mendapatkan izin dari pemerintah pusat atau bekerja sama dengan mitra lokal. Namun, dalam banyak kasus, pemberian izin operasi KIP tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat, bahkan dalam beberapa kejadian, nama-nama warga diduga dicatut sebagai pendukung tambang tanpa persetujuan yang sah. Hal ini memicu gelombang protes dari komunitas pesisir, terutama di wilayah Matras, Teluk Kelabat, Batu Beriga, dan sejumlah pantai lainnya di Bangka. Sepanjang tahun-tahun berikutnya, terutama antara 2010 hingga 2022, setidaknya 26 konflik tercatat oleh Walhi Bangka Belitung sebagai bentuk perlawanan terhadap aktivitas tambang laut. Aksi penolakan berlangsung dalam berbagai bentuk: mulai dari demonstrasi, penyegelan lokasi tambang, hingga laporan resmi ke DPRD dan kementerian. Meski demikian, dalam banyak kasus, tuntutan masyarakat tidak mendapatkan tanggapan memadai, karena tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pada tahun 2023 hingga awal 2025, eskalasi konflik semakin meningkat. Beberapa titik seperti Batu Beriga di Bangka Tengah menjadi lokasi panas yang diperebutkan antara PT Timah dan kelompok masyarakat yang menolak aktivitas tambang di kawasan tersebut. Pemerintah provinsi dan DPRD telah memfasilitasi beberapa pertemuan antara perusahaan dan masyarakat, namun banyak mediasi berakhir buntu karena perusahaan dinilai tidak menghadirkan perwakilan yang memiliki kewenangan mengambil keputusan. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap proses penyelesaian pun menurun.

Kejelasan Kasus: Hingga pertengahan 2025, belum semua konflik tersebut menemukan penyelesaian tuntas. Meski ada beberapa usaha reklamasi dan pendekatan persuasif dari aparat, tuntutan utama masyarakat—yakni penghentian tambang di zona tangkap nelayan—belum sepenuhnya dikabulkan. Ketegangan ini menjadi refleksi penting dari buruknya tata kelola pertambangan dan perizinan, serta absennya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada ruang hidup mereka.

Sumber: Pencet ini kalo mau tau lebih.

Konflik buaya-masyarakat akibat kerusakan habitat buaya yang disebabkan aktivitas tambang timah ilegal.

Kronologi: Dalam beberapa tahun terakhir, tepatnya sejak 2022 hingga 2025, Kepulauan Bangka Belitung mengalami lonjakan kasus konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya buaya muara, yang secara langsung berkaitan dengan maraknya aktivitas penambangan timah ilegal. Penambangan ini tidak hanya merusak ekosistem daratan, tetapi juga menghancurkan habitat alami buaya di hutan mangrove, sungai, dan rawa-rawa yang sebelumnya menjadi tempat berkembang biak satwa liar tersebut. Ketika kawasan hutan dan aliran sungai tercemar atau hilang karena tambang, buaya kehilangan wilayah perburuan dan tempat berlindungnya, sehingga mereka terdorong masuk ke wilayah yang lebih dekat dengan permukiman manusia. Akibatnya, sepanjang 2023 hingga pertengahan 2025, tercatat belasan insiden serangan buaya terhadap manusia, termasuk kasus meninggal dunia maupun luka serius. Tidak sedikit pula masyarakat yang secara spontan membunuh buaya sebagai bentuk balas dendam atau perlindungan diri, meskipun buaya termasuk satwa yang dilindungi. Situasi ini memicu kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk pegiat konservasi dan pemerintah. Menanggapi hal ini, Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi Foundation di Babel bekerja sama dengan PT Timah Tbk mulai melakukan rehabilitasi dan penyelamatan puluhan ekor buaya, yang sebagian besar dievakuasi dari area tambang maupun kolam warga. Hewan-hewan ini kemudian dirawat di Kampung Reklamasi Air Jangkang, kawasan bekas tambang yang diubah menjadi pusat edukasi dan konservasi. Langkah-langkah ini menjadi bentuk tanggap darurat terhadap krisis ekologis yang ditimbulkan oleh eksploitasi tambang, khususnya tambang ilegal yang tak terkendali dan sering beroperasi di luar izin.

Kejelasan Kasus: Meski upaya rehabilitasi terus dilakukan, namun akar permasalahan tetap belum teratasi sepenuhnya: selama penambangan ilegal masih berlangsung tanpa pengawasan ketat, maka konflik antara manusia dan buaya berpotensi terus berulang, mengancam baik keselamatan warga maupun kelestarian satwa liar di Bangka Belitung.

Sumber: Pencet ini kalo mau tau lebih.